Merajam kata

Wangi soto menguar sampai seberang jendela. Diantara sembilan pohon pinus, lelaki tua bersandar payah. Kulit melorot, otot yang lelah menyangga tangan. Tak mudah menghadapi hari raya dalam kebisingan. Ia menyendiri bukan berarti takut. Tapi dia dibuang oleh kepupusan harapan. Syurga yang tanpak waginya dulu.
***
Sore senja, diantara terik kelabu merah di barat, sepasang sepeda berjejeran. Sambil tertawa-tawa keduanya asik menyusuri jalan yang tiada datar datarnya itu. Bukan sepasang kekasih. Tapi dua anak durjana yang lembut hatinya. Aku sendiri juga penasaran, bagaimana dua ingusan itu disebut ingusan, tapi bisa juga lembut.
***
Sepada, keriting, tawa. Tak ada yang bisa memisahkan dirinya dari itu. Kadang
***
Bunga senja menyentuh pucuk jati. Pendar emas tak kuasa ditolak. Ia bagai kasih yang memikat. Daun kering dan rumput berserakan sembarangan. Sebentar lagi, hawa dingin akan semakin mengental. Diiringi pekat malam yang membius.
Di dalam rumah itu, dengan klobot. Asap menggumpal, menyebar, seolah ingin berubah jadi jin, lalu lenyap dimakan gelap.
***
Asu!
Matamu picek!
Jok muni aq lanang yen gak iso nyumpel lambemu karo gagang vespa.
Cangkem suwek. Maido wae kon iku. Westalah, yen kon duwe kontol, mene!!
Nantang koen.
Ayo mangkat ngarit cuk..
***
Kakak, jangan kau berani tipu tipu kita e.
Macam orang udik aja kau kira kami ini.

E, adik. Jangan kau marah dulu.
Kakak tak mungkinlah tipu kau.
Yang kakak maksud, agar baik kau hidulnya.
Tak susah macam kita2.

Tak susah apanya.
Kau suruh aku ambil makan di kampung sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulislah. Agar Tak Terhapus Dari Sejarah

10 oktober 2017

cerpen