cerpen
Semua ada
waktunya. Ada masanya kapan kau akan baik, atau kau akan semakin buruk. Namun
tenang saja, tidak aka nada yang namannya semakin buruk selama terus berusaha,
pantang menyerah, dan tentu saja optimis. Ini sudah beberapa kalinya saya
menulis hal yang tidak mutu mengenai apa yang diucapkan hatiku. Tertuang disini
tidak jelas, namun apalah daya. Hanya ini yang bisa ku lakukan agar bisa dengan
mudah mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran. Pembelajaran tidak akan
menyusahkan. Pembelajaran juga tidak menyakitkan. Namun mungkin bagi sebagian
orang, ini memakukan. Dan saya juga malu membaca ulang tulisan yang saya tulis
ini nanti. Hanya menulis saja, lalu posting. Tak ada edit dan dibaca lagi
setelah itu. Entah sengawur apapun, dan nglantur kemana – mana tidak jelas.
Kalau kemarin –
kemarin menulis ini dipotong jadi 2, separuh separuh. Sekarang diusahakan akan
ditulis penuh, tanpa potongan. Apa yagdimaksud potongan adalah target menulis
jumlah kata. Bukan dari keseluruhan tulisan. Bukan Satu cerita dibagi dua.
Apapu itu, akan menulis sampai akhir, meskipun kata yang terbentuk, kalimat
yang tertulis tidak nyambung. Tapi yang penting, kamu nyambung hai para
pembacaku yang budiman…
ada banyak yang
ingin kubagi dalam setiap tulisan. Membagi tulisan agar tidak membosann, mudah
diterima, dan tentu ada banyak bunga dengan berdaun rima. Mungkin kali ini tema
penulisan adalah tentang membelah cerita menjadi semacam sajak dalam paragraph.
Mempusisikan cerita, dan cerita dalam puisi.
**
Bunga bersajak
lirih, diantara ayunan kayu hitam, yang agak lapuk. Gadis kecil termangu dan
menunduk. Berayun pelan, rambutnya yang berombak diikat dibelakang. Sisanya
dimaiankan semiliri angin. Angin itu menambah kecantikannya. Gadis kecil dengan
rok berumbai, warna pink berpadu dengan potongan putih ditengah. Busana yang
anggun ditambah dengan wajah imut dan ayu terlihat sendu. Entah apa yang
dipikirkan. Namun dapat dikira ia sedang menunggu. Mungkin teman, mungkin ayah,
atau ibu. Ia merindukan sesuatu.
Wajahnya
terangkat, arah utara ia tatap dengan ketidak pastian. Menghela nafas dalam,
dan menunduk lagi. Entah menghitung jumlah daun, mengawasi semut yang
bercengkerama, atau berusaha mengamati gerak bakteri. Hari itu masih pagi.
Mungkin antara jam tujuh atau setengah delapan. Karena mentari masih belum
penuh dikejauhan. Sinarnya yang berupa emas melukis bumi tempas sang gadis
berayun ayun. Perlahan dengan lembut sinarnya menyapa. Lewat sela – sela pohon
kersen, mentari menyentuh pipi sang gadis. Namun gadis masih tak perduli.
Mungkin iri, mungkin masih acuh. Ia meraba dan menggenggam kuat tali ayunan
dari pilinan nilon yang besar.
Ia masih
menunggu. Mungkin lapar. Tapi belum juga ada suara yang memintanya masuk rumah.
Untuk makan, sarapan, atau minum susu. Dan iajuga tidak perduli dengan hal itu.
Dia masih asik menghitung berapa jumlah butir tanah yang ia garuk dengan
jempolan kakinya. Lehernya kaku. Mendongak keatas, langit biru menyapanya. Dan
awan tersenyum untuknya. Sang gadis membalas senyum. Kilatan giginya yang agak
hitam manis dimakan gula – gula tidak mengurangi cahaya kecilnya. Lbibirnya
yang tipis tertarik sempurna ke kanan dan kekiri. Membalas sapaan langit biru
dan putih mega.
Burung – burung
ceria mengepakkan sayapnya. Berputar – putar menimati rezeki. Rezeki yang tak
perlu bayar. Yakni udara segar dengan wangi embun yang menguap. Cericitnya yang
dari terdengar nyaring sekarang bisa hinggap ke telinga si gadis cilik.
Kehampaan dan keterasingan yang menemaninya sejak ia duduk di ayunan telah
pergi. Mama juga sudah memanggil. Roti selai, susu putih segelas, dan telur
asap telah menghias pirinya di meja makan. Ia berdoa, dan menyantap makanannya
dengan penuh kesyukuran. Keluarga itu akan liburan untuk beberapa hari.
**
Siang merangkak
pelan. Dia berjalan sesuai dengan derap detik. Perlahanpergi, namun tak akan
pernah kembali. Usia senja, menua, dan mata mulai tidak sempurna. Encok dan
gemetar. Juga kesemutan adalah kawan yang tak pernah absen menemani setiap
sadar menghampiri. Kenikmatan abadi di hari tua adalah masih bersama dengan
istri yang tetap dipacarinya sejak SMA. Kopi masih tetap dicangkir yang sama,
buku hardcover di tangan, dan music klasik mengayun pelan. Ia menikmati
semuanya. Roxane memanggang roti sambil memasak bubur gandum. Roti masak, bubur
masih setengah matang. Disiapkan selai, dioleskan sekalian. Bubur siap, ia
membawa semua itu ke depan, dimana suaminya selalu duduk menghadap jendela,
dengan buku di kedua tangan. Alunan music masih syahdu menggema.
Nampan telah
ditaruh di mejabelakang kursi. Pak tua berambut perak masih dengan kacamata
yang agak miring khusyuk menekuni buku. Tak biasanya dia membiarkan kacamata
yang bertengger ditelinganya itu miring sedemikian rupa. Siapapun mengenal sang
Alexander sebagai manusia presisi. Semua hal yang berurusan dengannya harus
perfect, tepat pada tempatnya. Apapun itu. Dia yang disiplin, tegas, dan tak
pernah mundur dengan apa yang telah ia janjikan.
Roxane mengelus
pundak suaminya yang masih memiliki bekas tanda kekekaran di pundaknya. Pundak
yang telah membawa rumah tangga mereka hingga tak terpisahkan sampai dengan
saat ini. Ia mengelus sayang. Dengan lembut di panggil namanya untuk segera
makan sarapan, mumpung masih hangat. Paduan bubur gandum, susu kental dengan
irisan jeruk adalah kesukaannya. Tak pernah ia sarapan selain itu selama
sepuluh tahun ini. Roxane menggenggam punggung tangan suaminya. Buku masih
terbuka di pangkuannya. Namun matanya tertutup rapat. Tangannya hangat, namun
dadanya tiak bergerak memompa nafas. Roxane tercekat. Ditempelkannya telapak
tangan suaminya di pipinya. Perlahan, hangat ditelapak tangan tua itu menyusut.
Semakin dingin, dan semakin dingin. Dan saat ia menatap wajah Alexander, ia
tersenyum tipis. Dalam kedamaian. Jiwanya melayang untuk bercengkerama dengan
Tuhan. Dan, masih dengan menggenggam tangan suaminya yang dingin, ada ledakan
kecil di matanya yang melelehkan air mata tiada henti. Ia tak menyangka akhirnya
inlah yang memisahkan mereka berdua selamanya. Tak ada isak, hanya sengguk akan
masa lalu membentang dalam layar di hatinya. Diputar memori akan keindahan dan
kasih sayang suaminya yang tak terkira di setiap langkah hidupnya. Sejam, dua
jam, tiga jam… dan ia tidur di paha suaminya. Lengan suaminya masih terasa
seperti mengusap usap pipinya. Hal yang selalu ia lakukan saat akan bangun
pagi. Mengusap pipinya, mengcup, dan ia akan menyeduhkan teh hangat manis
kesukaan istrinya.
**
Sebuah mobil SUV
merek Chevrolet memasuki plataran. Sepasang suami istri dan 3 anak keluar dari
mobil. Seorang gadis kecil berpakaian hitam dengan rambut emas yang
bergelombang. Ia tali kebelakang rambunya, menyisakan sedikit, terjuntai
terombang ambing di samping telinga. Lalu seorang lelaki dengan bibir agak
lebar, hidung mancung, dan mata tajam menekuk ke dalam. Badannya semampai,
dengan tubuh yang kekar untuk anak seusianya. Dan seorang yang sudah agak
dewasa, smester 1 kuliah di luar kota. Melangkah yang dipercepat seperti
setengah berlari rombongan baru itu. Namun si kecil sudah benar – benar berlari
untuk mengimbangi langkah keluarganya. Namun karena tak bisa terlalu cepat,
diangkatlah pinggul si kecil oleh tangan kekar sang ayah. Menggendong, bergegas
masuk ke dalam rumah duka.
Berkumpul dengan
Roxane.
cerita tamat
Komentar
Posting Komentar