cobalah hal baru

Adzan di Hand phone menggetarkan mimpi – mimpi yang semu buram dalam gelayut remang. Pagi sudah datang.  Geliat tubuh, renggangkan otot, molet, mungker lsgi, mata kethap – kethip. Lihat jam, malas malasan, lalu duduk. Melamun. Seperempat jam terlewat, tarik nafas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berdiri. Wudhu, sholat. Lalu tidur lagi.

Cericit burung sudah lama sepi. Matahari kekuningan menyapu bumi. Syahdu. Seduh kopi, ndak peduli kethep masih mbludak di gerbang mata. Yang penting kopi datang, masalah hilang. Nyruput dengan khusyuk, nylomot cangkem dengan sebatang lintingan. Obat hari itu adalah lintingan dewe. Nyruput kopi saat mulut pait oleh asap dan nikotin. Hari ini libur. Sabtu. Anak rantau, bocah proyek, jauh dari anak istri. Asap menggulung lagi. Mengeluarkan segala angan dan kerinduan. Akan sawah, bebek, parit, kali, dan hijau padi. Ohh… padi. Indah sekali kala menghijau dan menguning. Meskipun tak juga memberikan uang berlipat di sawah, namun ada kehangatan dan kasih saying alam yang tak bisa dinilai dari uang. Tani, mungkin ada ruh dan kasih saying tuhan di dalamnya. Hingga manusia tani itu tentram dan nyaman.

Kopi yang umup panasnya mulai berkurang uapnya. Sruput demi sruput mengisi jam. Nikmat kopi dan udud hanya kami yang tahu. Persetan dengan kecanduan. Bumi kubiarkan memutar waktu. Akan kubunuh waktu itu dengan asap. Khusyuk sekali perokok itu. Bagaikan wiridan, dengan keayeman atau keruwetan yang datang, udud menemani dengan tenang. Semua akan selesai pada waktunya. Entah itu masalah, kesedihan, maupun kebahagiaan. Mereka datang, dan pergi tanpa permisi.

Saat – saat seperti ini, terasa indah kalau ditambah gorengan. Namun uang makan yang tak kunjung datang, sarapan kali ini cukup nikmat dengan cafein dan nikotin. Selesai ngopi dan membakar mulut, sikat gigi, lalu tidur lagi. Sungguh syurga tak jauh dari hidup ini. Cukup bisa tidur lagi jam sembilan, bangun nanti tengah hari diguyur kringet yang mbasah karena panas.

Sarapan nasi bungkusan lek Sri. Nasi warteg yang nikmat dengan rasa micin. Mangan bareng sesame kuli, berbagi gorengan sekresek ditambah kuku bima satu ceret dengan es, yang akan habis dalam hitungan menit. Bikin lagi, dan baru bertahan paling lama setengah jam kemudian. Mainan hape, nyobek kopi sasetan, menjarang aer, nglinting lagi. Guyon, tertawa, melupakan nasib yang mulai lebih kejam dari setan. Khusyuk tafakkur dengan asap menggantung.

Langit agak buram. Hanya harapan palsu. Karena ini belum musim hujan. Hanya menambah ungkep di daratan. Ndak ada yang lebih nikmat sehabis makan dan mainan hape, telpon rumah, dan tidur lagi. Berharap nasib yang mendung ini segera cerah. Mesikpun ndka punya harapan, namun keluhan tak akan menyelesaikan masalah. Penikmat bedeng yang lain mulai nyari botolan, dan bersulang dengan nasib. Tertawa, mutah mutah, dan siap mbangun rumah lagi besok. Meskipun ahli membuatkan rumah orang yang indah indah, jika pulang masih tetap nikmat di pondok mertua. 


Dalam kriuk perut lapar, ia tidur. Lembaran karton dan dus bekas adalah kemewahan dalam pinggiran kota Jakarta. Tidur berselimut baju dobel untuk mengusir dingin, bertengger di bawah pohon kota dalam gerobak yang disebut rumah. Inilah orang2 paling kuat dalam hidup ini. Mereka membawa rumah mereka kemana – mana. Ditemani seorang istri, dan anak yang bisa lebih dari satu. Aku salut pada mereka. Bahkan iri dengan ketabahan mereka menjalani hidup yang begitu keras.

Dengan indah computer, dan laptop inventaris kanto ini tak akan lagi kubiarkan dia tidur di laci atau mendengkur di tas. Kubiarkan dia menyanyi, keyboarnya berderak – derak dalam alunan ketikan. Komitmen ini semakin besar. Tak akan kubiarkan lagi jam hidup ini sia sia dalam lena tidur berkepanjangan. Tak ada waktu lagi untuk hibernasi. Ini semua gara – gara tulisan Pram yang kurang ajar itu. Ini bukan masalah keabadian atau tak dilupakan. Apalagi sastrawan besar. Aku tahu aku tak akan bisa melampauimu yang diganyang nasib, diburu orba, tapi malah bikin mules sang jendral. Kau dimuntahkan, dan semakin tenar. Ramlanmu tentang umurpun ditolak Tuhan. Penyakit TBC dan komplikasi yang lain hanya ingin bersua denganmu, bergurau dalam acara berak tak menentu. Kau kuat. Sabar, dan pemberani. Mungkin akan kutuliskan kisahmu dalam banyak cara berbeda. Dan tentu saja dengan dama samaran. Dan glamourmu tak akan hilang. Akan kupertahankan itu dalam setiap huruf yang kutata rapi.

Tak perlulah ku demonstrasikan atau kutunjukkan berapa jumah aslinya. Yang penting, ini adalah ujian yang akan kulakukan dalam polahku sebagai orang yang ingin menjadi manusia yang berkualitas. Apakah hanya hidup, dan mati, lalu dilupakan. Mati dan dilupakan juga bukan kesalahan. Daripada diingat, dan aibnya abadi. Kebadaian tidak selalu baik. Dan jadi orang baik – baik saja yang di sayang Tuhan lalu menghilang bermesraan dengan bumi adalah lebih baik.

Rumuskan sendiri dirimu. Jangan kau anut itu rumusan orang. Anggap itu hanya catatan kaki. Jejak yang tak akan pernah membuatmu bergeming. Aku tak akan makan sebelum ini selesai. Lapar adalah energy. Musik adalah latar yang menyenangkan debagai teman. Entah dengan tulisan, mungkin puisi, pantun, atau apa saja yang bisa kutulis,dan membuat laptop ini hidup dengan caranya sendiri.

Puisi.
Pantun.
Sastra.
Apa yang bisa diambil dari 3 kata diatas.

Bangunan kata yang disusun rapi. Runut, jelas, dan berlenggak lenggok dengan aneka majas dan terukir indah dalam emosi. Kuharap aku bisa menulis dengan cara yang indah dan mudah dimengerti seperti itu. Tulisan yang berima, dan percakapan penuh emosi. Pemampatan kata menjadi berisi. Sebuah kenangan yang membentuk nyata, kisah tersorot menjadi drama dalam bioskop fikiran. Kau tidak membaca. Tapi melihat. Menonton opera. Yang telah dikompres menjadi kaset berlembar dengan nama buku fiksi.

Ini temanya adalah menulis banyak. Menulis setiap hari, dan sebanyak mungkin. Untuk menjadi seorang yang berhasil, ada harga yang harus dibayar. Ada waktu yang musti ditebus. Dan perbedaan tingkat kenikmatan hal itu adalah kita menikmatinya sebagai sebuah hobi, atau menjadi tanggung jawab yang musti dilakukan. Sudut pandang sangat mempengaruhi mulai darimana kita berjalan, dan kemana arah tujuan itu akan berakhir. Nikmatilah perjalanan ini. Lihat apa yang sedang kau kerjakan, dan cintai itu. Ikhlaslah. Hanya dengan itu kau akan berkembang, menerima kredit atas apa yang telah kau lakukan, dan jangan mengeluh.

Menulis ini, hanyalah untuk melepas stress. Menulis bisa menjadi terapi. Ibarat membaca itu adalah makan, maka menulis itu pup. Semua harus seimbang agar tidak njomplang. Tapi bagaimana dengan yang dikeluarkan lebih banyak dari yang dibaca? Ya ndak bisa ditelan mentah – mentah perumpamaan itu. Yang jelas, menulis itu bukan hanya untuk mengeluarkan stress, namun juga untuk pembelajaran kita dalam menyusun kalimat untuk menyampaikan suatu ide. Orang yang supel dan mudah menyatakan apa yang dia rasakan lebih mudah diterima dari pada kawan yang pendiam. Bukan menjadi pendiam itu tidak bagus. Mbok ya dicerna tho…

Berat sekali harus menulis berlembar – lebar itu. Apa lagi lima ribu kata sehari? What!! Apa itu tak berlebihan? Jika itu yang tercantum kedalam hatimu, why not? Jalani aja. Go ahead. Terus mengetik kayak mahasiswa dikejar skripsi dan ketemu dosen. Jika ada hal yang membuat kita mampu, mungkin itu adalah the power of kepepet. Saat kita harus melakukan, dan harus dikumpulkan besok, sampai pagi pun akan dijabanin. Tapi bagaimana kalau besok kan kerja. Ndak mungkin dong kita mengorbankan performa kerja kita untuk melakukan hal yang bahkan kita belum tahu sendiri hasilnya nanti bisa untuk ekonomi atau tidak.

Well… alasan tidak masalah. Semua tergantung komitmen. Jika kita bisa mengisi banyak waktu luang untuk ngetik, kurasa Tuhan akan memberi jalan. Katakan saja pada alam bawah sadar, aku harus ngetik ini setiap hari. Bukan untuk menjadi omong kosong, tapi untuk menjadi lebih berkualitas.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulislah. Agar Tak Terhapus Dari Sejarah

10 oktober 2017

cerpen