Kisah Lain

berhasil ada harga yang harus dibayar, begitu pula dengan gagal. Bahkan, mungkin kegagalan harganya lebih mahal dari pada keberhasilan. Jika ingin berhasil dalam hidup, tentu semua tahu harganya. Kerja keras yang cerdas, jujur dan berintegritas, juga skill dan keberanian yang mumpuni. omong kosong soal yang penting jalan dulu, usaha dulu. persiapan belakangan. Mau perang tanpa persiapan, sama halnya menyerahkan nyawa pasukan pada musuh. Realistislah kawan. jadi pengusaha itu tidak mudah. dan menjadi karyawan juga lebih susah. jangan hitam putih begitu. sukses diukur dari uang. meskipun uang memang standar kesuksesan saat ini, namun orang kaya yang bajingan juga bertebaran dimana - mana. kita ini sekarang krisis mental orang baik. kalo mau lihat orang kaya, noh di jakarta jalannya dah kembang kempis keselek mobil. 

sebelum kaya itu menjadi harta, cobalah dulu untuk menjadi orang yang bermartabat. orang yang terhormat. manusia berintegritas yang semakin lama ini semakin nipis jumlahnya. orang jujur ajur itu sudah menjadi pepatah dalam kejamnya hidup saat ini.
Menjadi miskin itu tidak enak. Dan untuk menjadi kaya itu juga tidak gampang. Apalag di Indonesia ini, yang mana menjadi karyawan dipandang lebih menghasilkan daripada usaha mandiri. Kali ini saya akan bercerita mengenai seornag pria dewasa yang sudah menikah. Dia bekerja pada perusahaan yang beda banget dengan jurusan yang telah ia ambil selama kuliah. Ia kuliah di jurusan perkapalan, namun berakhir di perusahaan kontraktor jaringan transmisi dan pembangkit, juga gardu induk. Saat mulai berkarir dari drafter, surveyor, project control, sampai dengan admin keuangan lapangan. Dan, ia menguasai semuanya. Menjadi generalis. Bukan specialist. Dan beberapa waktu kemudian, dia mentok. Sudah bisa semuanya, namun babar blas tidak mengetahui sipil bangunan. Missal perhitungan pondasi, daya dukung tanah, bikin RAB, dan tetek bengek sipil engineer lainnya. Apakah saya akan bisa mencapai posisi puncak dengan keahlian yang generalis ini? So, ia bertanya – Tanya. Akan kemanakah karirnya setelah satu proyek ini berakhir?
Almarhum Jim Rohn, sang motivator dan guru Anthony Robbins selalu menekankan menambah nilai. Tapi, nilai seperti apa yang bisa dihargai oleh pasar? Keterampilan macam apa yang dihargai puluhan juta? Dan dengan salah masuk stard seperti ini, apa yang bisa diharapkan? Dia sudah hampir melupakan semua materi kuliah karena ditutup dengan pengalaman kerja yang dikerajakan dalam waktu yang sama, empat tahun. Dia bingung. Saya harus menambah keterampilan apa lagi untuk bisa bertahan di sini. Dan mencapai puncak.
Menambah kemampuan software baru? Karena dia ahli dalam utak atik software permodealn 3d dan CAD. Mulai dari auto CAD, sketch Up. Harus ditambah lagi kah dengan SAP dan Tekla. Tapi untuk apa? Drafter Tekla dan engineer SAP sudah melimpah di luar sana. Juga dia sama sekali tidak paham terhadap perhitungan konstruksi. Meskipun ada banyak buku yang bertebaran di took buku, dan ebook serta youtube. Namun tanpa kuliah dan tanpa stempel engineer dari sertifikat ia tetap bukanlah engineer. Begitu fikirnya.
Lalu, bagaimana? Apa yang dilakukan untuk bisa bertahan?
Krik krik krik…
Hening
Dan suara di hatinya berkata. Lakukanlah apa yang kau suka. Apa yang kau minati. Bukan apa yang harus dikerjakan. Meatap jauh kedalam kegelapan masa lalu. Memutar ingatan tentang indahnya tulisan, nikmatnya membaca buku, dan membuat rencana. Ya. Dia punya kemampuan untuk menulis yang semrawut, tap itu bisa melepaskan stress dari pekerjaannya yang sekarang. Tak suka diperintah, dan menyukai kebebasan yang sepi. Apa yang bisa dihasilkan sebagai penulis? Apakah akan laku tulisannya? Semua tidak akan tahu sebelum dicoba. Dan dia berniat resign dari pekerjaannya yang sekarang setelah satu proyek ini selesai. Berkumpul dengan istri, dan tidak ke site project lagi.
Ketidak pastian pekerjaan menghantuinya lagi. Ketidak pastian penghasilan dan apa kaa mertua menjadi beban lagi. Apa lagi, rumah impian itu masih berupa pondasi. Bimbang dan gentayangan fikirannya. Namun tiada kata menyerah. Waktu terus berlari, dan umur tak mau berhenti. Tuntutan yang semakin tinggi. Ia harus berhemat. Membeli buku untuk meningkatkan kualitas pribadi, membaca sastra untuk makanan jiwa.
Dan mulailah sebuah komitmen ambisius dalam rutinitasnya sebagi kuli ketik dan penghitung bobot pekerjaan. Menulis lima ribu kata setiap pagi sebelum berangkat kerja. Namun karena pemula, dan jarinya masih harus disinkronkan dengan hati yan banyak bicara, ia kesulitan menerjemahkan kalimatdi otaknya menjadi tulisan. Maka turunlah target itu hanya menjadi dua ribu kata perpagi. Bukan perhari.
Tuntutan untuk sukses, tanggung jawab yang menumpuk, dan keinginan untuk segera pulang pun menggebu. Mungkin selepas pensiun dari pekerjaan menghitung progress ini, ia akan menjadi penulis partikelir. Atau mencoba menulis cerita dan dikirimkan ke berbagai media on line untuk mendapat royalty. Dan… itu tak bisa di bandingkan dengan gajinya yang sekarang. Ada satu saran dari pak Juan Feju. Jangan menulis sesuatu yang trennya mudah terganti semisal teknologi. Karena tidak laku lagi setelah teknologo baru menggantikan. Dan bukumu yang sudah kau buat dnegan keringat dan darah itu tidak relevan untuk jaman sekarang. Menulislah yang tak lekang oleh waktu. Sastra.
Sayang seribu sayang, untuk membuat dialog yang bertanda dua koma dia atas itu, (“”) sangat sulit. Bukan sulit dalam menuliskannya. Namun sulit dalam memberikan emosi dalam setiap katanya. Tanpa emosi dan ledakan, itu hanyalah sebuah kalimat tanpa percakapan. Juga ada banyak plot. Banyak teknik menulis. Dan ada banyak teknik dalam mempengaruhi emosional. Sebuah sastra tanpa emosi, hanyalah kumpulan huruf yang telah menjadi mayat. Basi dan amis. Membacanya adalah olah raga otak yang sudah kepayahan.
Apakah menulis itu jalan yang ditentukan Tuhan? Padahal dia sudah merancang 3 ide bisnis. Sebuah bisnis yang mandiri dengan SOP jelas. Halangan dan rintangan yang jelas. Usaha yang tidak dimulai dari sendiri lebih banyak hancurnya daripada yang jalan dan makmur.
  Si orang salah jurusan ini akhirnya mengambil keputusan. Dia akan tetap menulis, membaca buku, menabung, dan meningkatkan etos kerjanya. Etos kerja kepada perusahaan, maupun kepada Yang maha Kuasa. Keajaiban tidak datang secara tiba – tiba. Namun dengan keseriusan dalam mengambil keputusan dan konsisten adalah jalan utama kemajuan. Tidak perduli nasib besok seperti apa, selama berusaha, berdoa, jujur dan adil akan membawa ada jalan sendiri untuk maju. Entah sebagai karyawan, maupun usahawan. Itulah dedikasinya saat ini. Bayar harga dulu di dunia ini dengan keseriusan, dan memberikan yang terbaik. Hasil akhirnya, biarlah waktu dan nasib menyesuaikan.
Tetaplah berjuang kawan, tetaplah membuat puisi, menulis pantun yang gusar, atau mengusik rima. Pada saatnya nanti, ada rasa yang tentram dan kepuasan dalam menjalani hiduo ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulislah. Agar Tak Terhapus Dari Sejarah

10 oktober 2017

cerpen